Siaran Pers Kelompok Studi Kader (KLASIKA) terkait Penyitaan Buku Sebagai Alat Bukti Pidana dan Kerusuhan

Ultra Kencana22
81 Views
6 Min Read
6 Min Read

Rilis Indonesia.Com – Bandar Lampung – Sabtu (20/09/2025) — Kelompok Studi Kader (KLASIKA) mengecam langkah aparat Kepolisian yang menjadikan buku sebagai barang bukti kerusuhan saat demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya beberapa waktu lalu.

Klasika menilai tindakan itu sebagai bentuk kriminalisasi pemikiran dan kebebasan berekspresi, Sabtu (20/9/2025).

Direktur KLASIKA, Ahmad Mufid mengungkapkan beberapa waktu belakangan ini, aparat kepolisian di daerah menyita beberapa buku dari peserta aksi demonstrasi. Praktik ini kembali memunculkan ingatan kolektif bangsa terhadap sejarah kelam pembredelan dan pelarangan buku di Indonesia.

- Advertisement -

Ia mencontohkan penyitaan buku sebagaimana yang dilakukan aparat kepolisian di Bandung oleh aparat Polda Jawa Barat. Polda Jawa Barat tidak hanya menetapkan sejumlah tersangka kericuhan demo di Gedung DPRD Jawa Barat, tetapi juga mengamankan berbagai buku bacaan yang diyakini menjadi rujukan dalam aksi-aksi anarkis yang dianggap jadi referensi kelompok anarkistis di demo tersebut.

Dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025), polisi menunjukkan sejumlah buku yang disita, antara lain Novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, Estetika Anarkis, Why I Am Anarchist, dan Sastra dan Anarkisme.

Sebagaimana dilansir dari DetikJabar, Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Rochmawan, menegaskan bahwa buku-buku yang disita dalam kasus kericuhan di Bandung berperan besar dalam membentuk pola pikir para pelaku. Kabid Humas menyatakan bahwa paham anarko dan anarkisme yang dianut para tersangka terinspirasi dari isi buku-buku tersebut

Bahkan Kabid Humas Polda Jabar Hendra juga menyebut bahwa buku-buku itu bukan sekadar bacaan biasa. Menurutnya, buku-buku tersebut telah memantik ideologi antikemapanan yang mencerminkan bentuk kekecewaan para pelaku, dan menjadi pemicu terjadinya kerusuhan.

Kasus serupa juga terjadi dalam proses hukum terhadap Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, yang ditetapkan sebagai, tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya awal September lalu.

Dalam proses penyidikan, aparat kepolisian juga menyita sejumlah buku dari dua lokasi berbeda, yakni kantor Lokataru Foundation serta kediaman pribadi Delpedro.

Dikutip dari Kompas.com, di Surabaya, Jawa Timur, sebanyak 18 orang ditangkap dalam kasus pembakaran Pos Lantas Waru, Sidoarjo termasuk 10 anak berhadapan dengan hukum (ABH). Dari para tersangka, polisi turut menyita 11 judul buku, antara lain Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno, Anarkisme karya Emma Goldman, Kisah Para Diktator karya Jules Archer, dan Strategi Perang Gerilya karya Che Guevara.

Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Widi Atmoko, menjelaskan bahwa penyitaan buku dilakukan untuk menyelidiki sejauh mana narasi dan pemikiran dalam bacaan tersebut memengaruhi tindakan para tersangka.

Menanggapi hal ini, Direktur Klasika Ahmad Mufid menyatakan keberatan atas praktik penyitaan buku-buku apalagi yang dianggap bercorak “kiri” yang dijadikan barang bukti dalam kasus demo.

Mufid menilai langkah penyitaan buku sebagai barang bukti bermasalah secara hukum. Selain itu juga berpotensi membungkam kebebasan intelektual dan hak atas informasi.

Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang penyitaan: penyidik hanya boleh menyita benda yang “yang patut diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana” atau bisa menjadi alat bukti.

“Jika buku disita hanya karena isi/paham yang dianggap berbahaya tanpa bukti konkret bahwa buku itu benar-benar digunakan dalam tindak pidana atau terkait secara langsung dengan pelanggaran, maka penyitaan bisa dianggap tidak sah secara prosedural dan melanggar hak atas kepastian hukum,” tegas Mufid, Sabtu (20/09/2025).

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa, hak untuk memiliki dan membaca buku dilindungi konstitusi. Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945 menjamin kebebasan berekspresi serta hak setiap orang untuk memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi.

“Ditegaskan pula dalam dokumen Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat yang dikeluarkan Komnas HAM,” ujarnya.

Mufid menambahkan, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 menegaskan pelarangan atau penyitaan buku tak bisa dilakukan sepihak. Hanya pengadilan yang berwenang menyatakan sebuah buku terlarang setelah melalui proses peradilan.

“Artinya, praktik penyitaan buku tanpa mekanisme peradilan jelas bertentangan dengan konstitusi,” imbuhnya.

KLASIKA menegaskan bahwa demokrasi tumbuh dari keberanian berbeda pendapat dan kebebasan membaca. Menjadikan buku sebagai barang bukti tanpa relevansi langsung hanya akan membungkam kebebasan berpikir dan mengancam kehidupan akademik.

“Penyitaan buku tanpa dasar yang jelas adalah cacat prosedural dan inkonstitusional. Itu bukan hanya masalah hukum, tapi juga ancaman serius terhadap kebebasan akademik dan demokrasi,” tegasnya.

Berdasarkan hal di atas, KLASIKA mengeluarkan tiga sikap tegas. Pertama, Menolak bangkitnya kembali praktik-praktik otoritarianisme.

Sejarah mencatat bagaimana rezim otoriter di masa lalu menggunakan dalih keamanan negara untuk membungkam kritik dengan cara membredel, melarang, dan menyita buku. Praktik serupa bila dibiarkan hidup kembali hanya akan menggerus demokrasi, menghambat perkembangan intelektual, dan menghidupkan kembali trauma kolektif bangsa terhadap represi kebebasan berpikir.

Kedua, Klasika Mendesak aparat penegak hukum untuk menghentikan praktik penyitaan buku yang tidak relevan dengan tindak pidana.

“Buku adalah ruang gagasan, bukan alat kekerasan. Menyita buku tanpa hubungan langsung dengan perbuatan pidana adalah tindakan yang cacat prosedur dan melanggar prinsip-prinsip hukum yang adil,” jelas Mufid.

Ketiga, meminta semua pihak, khususnya pemerintah, untuk menghormati kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Pasal 28E dan 28F UUD 1945 dengan jelas menjamin hak setiap orang untuk menyatakan pikiran, mencari, menyimpan, dan menyebarkan informasi. Kebebasan akademik juga merupakan syarat utama bagi kehidupan demokratis yang sehat.

“Penyitaan buku secara serampangan hanya akan mengulang pola lama pembungkaman yang bahkan telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Demokrasi hanya bisa tumbuh jika keberagaman gagasan dijaga, bukan dibungkam,” pungkas Mufid..(Red/Tim)

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *